ASUHAN KEPERAWATAN
DENGAN SINDROMA ALERGI
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 KONSEP DASAR
2.1.1 Pengertian
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang
disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi
dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika
terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet,1986).
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejalan
bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh Ig E.
Rhinitis adalah suatu inflamasi
membran mukosa hidung dan mungkin dikelompokkan baik sebagai rhinitis alergik
atau non alergik. Rhinitis non-elergik paling sering disebabkan oleh infeksi
saluran napas atas, termasuk rhinitis viral (common cold) dan rhinitis nasal dan bacterial.rinitis bisa
merupakan kondisi akut atau kronis.
2.1.2 Etiologi
Kondisi-kondisi ini mungkin tidak
mempunyai manifestasi-manifestasi alergi lain seperti, mata-mata yang gatal dan
berair dan juga lebih gigih dan kurang musiman.
1.
Vasomotor rhinitis diperkirakan terjadi karena
pengaturan yang abnormal dari aliran darah hidung dan mungkin diinduksi oleh
fluktuasi-fluktuasi temperatur di lingkungan seperti, udara yang dingin atau
kering, atau irritants seperti:
a) polusi udara,
b) asap/kabut,
c) asap tembakau,
d) asap mobil, atau
e) bau-bau kuat seperti, detergents
atau fragrances (bau-bau wangi).
- Gustatory rhinitis mungkin menyajikan sebagian besar sebagai hidung yang beringus (rhinorrhea) yang dihubungkan pada konsumsi makanan yang panas dan pedas.
- Non-allergic rhinitis with nasal eosinophilia syndrome (NARES) dikarakteristikan oleh kotoran hidung yang bening. Kotoran hidung ditemukan mempunyai eosinophils (tipe sel alergi), meskipun pasien mungkin tidak mempunyai bukti lain apa saja dari alergi dengan pengujian kulit atau sejarah atau gejala-gejala.
Occupational
rhinitis
mungkin timbul dari paparan pada irritants di tempat kerja seseorang dengan
perbaikan dari gejala-gejala setelah orang itu meninggalkan tempat kerjanya.
Sebab-sebab lain dari rhinitis mungkin dihubungkan pada:
- kehamilan,
- obat-obat tertentu (kontraseptik-kontraseptik oral,
- beberapa obat-obat tekanan darah ,
- beberapa obat-obat ketakutan,
- beberapa obat-obat disfungsi ereksi,
- dan beberapa obat-obat anti-peradangan), atau
- beberapa kelainan-kelainan struktural hidung (septum yang menyimpang, septum yang berlubang, tumor-tumor, polip-polip hidung, atau benda-benda asing).
Infeksi-infeksi, kebanyakan virus,
adalah sebab yang umum dari rhinitis.Viral
rhinitis biasanya tidak kronis dan mungkin menghilang dengan sendirinya.
2.1.3 Patofisiologi
Rinitis alergi
merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan
diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen selama 1 jam setelahnya dan Late Fase
Allergic Reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4
jam dengan puncak 6-8 jam (fase-hipereaktifitas) stelah pemaparan dan dapat
berlangsung sampai 24-28 jam.
Berdasarkan
cara masuknya alergen dibagi atas :
1. Alergen
inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu
rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing dan anjing), rerumputan
serta jamur.
2. Alergen
ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi,
telur, cokelat, ikan laut, udang kepiting dan kacang-kacangan.
3. Alergen
injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan
sengatan lebah.
4. Alergen
kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan
kosmetik, perhiasan.
Satu
macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi
gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala asma bronkial
dan rinitis alergi. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi
yang secara garis besar terdiri dari :
1. Respon
primer
Terjadi proses
eliminasi dan fagositosis antigen (Ag) reaksi ini bersifat nonspesifik dan
dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya akan
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respons
sekunder
Reaksi yang terjadi
bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan iyalah sistem imunitas selular
atau humoral atau keduanya di bangkitkan. Bila Ag berhasil di eliminasi pada
tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari
sistem imunologi, maka reaksi berlanjut menjadi respon tertier.
3. Respon
tertier
Yang terjadi ini tidak
menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap,
tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
2.1.4
Manifestasi
Klinik
Klasifikasi
Rinitis Alergi
Saat
ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO (
2001 ), yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi 2 :
1.
intermiten (
kadang-kadang ) bila gejala < 4 hari/minggu atau < 4 minggu.
2.
Persisten atau menetap
bila gejala > 4 hari/minggu dan > 4 minggu.
Sedangkan
untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi 2 :
1.
Ringan apabila tidak
ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas seharian, bersantai, berolahraga,
belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2.
Sedang-berat bila
terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
2.1.5
Penatalaksanaan
1.
Terapi yang paling
ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen penyebabnya dan
eliminasi.
2.
Medikamentosa
Antihistamin
yang dipakai adalah antagonis histamin H-1 yang bekerja secara inhibitor
kompetitip pada reseptor H-1 sel target dan merupakan preparat farmakologi yang
sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat
dalam kombinasi tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
3.
Operatif
Tindakan
konkotomi parsial ( permotongan sebagian konka inferior ), konkoplasti, perlu
di pikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan
dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
4.
Imunoterapi
Cara
pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan pada gejala yang berat dan sudah
berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG bloking antibodi dan
penurunan IgE. Ada dua metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu interaderma
dan sublingual.
Komplikasi
rinitis yang sering terjadi ialah :
1.
Polip Hidung
2.
Otitis
3. Sinusitis
paranasal
2.2
MANAJEMEN KEPERAWATAN
A.
Anamnesis
Anamnesis
sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.
Hampir 50 % diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis
alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin
merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak
dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologi, yaitu proses
membersihkan diri (self cleaning process).
Bersin
ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai
akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang
encer dan banyak hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang
disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang
timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tesumbat
merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.
B.
Pemeriksaan Fisik
Pada
rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai
adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala presisten mukosa inferior tampak
hipertrofi pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia.
Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap didaerah bawah
mata yang terjadi karena statis vena sekunder akibat obstruksi hidung.
Gejala
ini disebut allergic shiner. Selain
dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan
punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok hidung lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah
yang disebut allergic creace. Mulut
sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan pertumbuhan gigi-geligi (fasies adenoid). Dinding posterir faring
tampak granuler dan edema, serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak
seperti gambaran peta (geographic tongue).
C.
Pemeriksaan Penunjang
·
In vitro :
Hitung
eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikiian
pula pemeriksaan IgE total (prist-paper
radio immunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal kecuali bila
tanda allergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit misalnya selain
rinitis allergi juga menderita asma bronchial atau urtikaria.
Pemeriksaan
ini berguna untuk prediksi kemungkinan allergi pada bayi atau anak kecil dari
suatu keluarga dengan derajat allergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah
pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (radio immuno sorbent test) atau ELISA
(enzyme linked immuno sorbent assay test). Pemeriksaann sitologi hidung,
walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan
pelengkap.
·
In Vipo :
Allergi
tidak dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intrdermal yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/SET). SET
dilakukan untuk allergi inhalan dengan menyuntikkan allergen sebagai
konsentrasi yang pertingkat kepekatannya. Untuk allergi makanan, uji kulit yang
akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah Intracutannues
Provocative Dilutional Food Test (IPDFT).
D.
Diagnosa Keperawatan :
Rinitis
allergik
Daftar Pustaka
- Mansjoer Arif R.1999.kapita selekta kedokteran. Jilid 1.Jakarta: Media Aesculapius
- Sumantri irman.2009.asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem pernapasan edisi.2.Jakarta: Salemba Medika
- Soepardi Arsyad E, dkk. 2007. Buku ajar ilmu kesehatan TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA DAN LEHER edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
- Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku ajar keperawatan medikal-bedah Brunner & suddarth vol 1. Jakarta : EGC