Rabu, 13 Juni 2012

ASKEP ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENILIS


ASKEP ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENILIS
BAB 2
PEMBAHASAN
         KONSEP DASAR
2.1  Pengertian

            Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang secara histolagik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti kesinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.

2.2  Anatomi

            Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan yang erat dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting.
1.      Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid.
2.      Terdapat jaringan limfoid pada dinding faring lateral dan pada resessus   faringeus, yang dikenal sebagai fossa Rosenmuller.
3.      Torus tubarius, refleksi mukosa faring di atas bagian kartilago saluran tuba eustachii yang berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai tonjolan seperti ibu jari ke dinding lateral nasofaring tepat diatas perlekatan palatum mole.
4.       Koana pada posterior rongga hidung.
5.      Foramina kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan dari penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh saraf kranial glossofaringeus, vagus, dan spinal assesori.
6.      Struktur pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk sinus petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksiput dan arteri faringea asendens, dan foramen hipoglossus yang dilalui saraf hipoglossus.
7.      Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat bagian lateral atap nasofaring.
8.      Ostium dari sinus-sinus sfenoid.
9.      Lokasi dari tumor masih menjadi perdebatan. Awalnya dikira muncul dari akar nasofaring atau dinding anterior dari tulang sfenoid tetapi sekarang dipercaya muncul dari bagian posterior dari kavum nasi dekat dengan tepi dari foramen sphenopalatina. Dari sini tumor bertumbuh masuk kedalam kavum nasi, nasofaring dan kedalam fossa pterygopalatina, berjalan dibelakang dinding posterior dari sinus maksillaris dimana menekan kedepan dari pertumbuhan tumor.

2.3  Epidemiologi

            Juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA) banyak dialami terutama remaja putra berusia 14-18 tahun. Jika remaja putri didiagnosis JNA, maka sebaiknya menjalani pemeriksaan kromosom atau diagnosis JNA akan terus dipertanyakan. Umumnya JNA terjadi pada dekade kedua kehidupan, tepatnya pada rentang usia 7-19 tahun. JNA jarang terjadi setelah usia 25 tahun.
Insiden JNA adalah 1 dari 5000-60.000 kasus THT dan dilaporkan 0,5% dari semua tumor kepala dan leher. Dilaporkan insiden JNA banyak terjadi di Mesir dan India.
            Insiden dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti pada Timur Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich dan Abels (1948) melaporkan rata-rata setiap tahunnya dari satu atau dua pasien untuk 2000 pasien yang diobati pada Head and Neck Service of The Memorial Hospital, New York. Di London, Harrison (1976) mencatat status dari satu per 15000 pasien pada Royal National Throat, Nose and Ear Hospital dimana satu kesimpulan bahwa lebih sedikit angiofibroma di London dibanding di New York.

2.4  Etiologi

            Penyebab pastinya belum dapat ditentukan. Namun teori yang paling dapat diterima adalah bahwa JNA berasal dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue yang terletak di turbinate cartilage. Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini dapat menjelaskan mengapa beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute) setelah masa remaja (puberty).
            Teori lainnya yang diajukan adalah tumor berasal dari embryonal chondrocartilage yang berada di occipital plate. Selain itu, ada juga teori tentang respon desmoplastic dari nasopharyngeal periosteum atau embryonic fibrocartilage antara basiocciput dan basisphenoid. Teori tentang penyebab dari sel-sel paraganglionik nonkromafin dari cabang terminal arteri maksilaris juga dipostulasikan. Hasil analisis hibridisasi genomik komparatif dari tumor ini juga berhasil mengungkapkan delesi kromosom 17, termasuk daerah untuk tumor suppressor gene p53 sama seperti Her-2/neu oncogene.
            Berbagai macam teori banyak dikemukakan. Salah satu diantaranya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor hormonal dikemukakan sebagai penyebabnya. Banyak bukti memperlihatkan secara langsung adanya reseptor seks-hormon, seperti reseptor androgen (RA), reseptor estrogen (RE), dan reseptor progesteron (RP), pada tumor ini. Bukti ini secara langsung memperlihatkan bahwa reseptor seks-hormon muncul pada angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang mana memperlihatkan reseptor tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan penyimpanan, dan studi imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada RA, RP, dan RE. Stromal positif dan nukleus endotelial immunostaining, menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3% positif andibodi RP dan negatif dengan antibodi dengan RE.
             Hasil menetapkan bukti langsung pertama adanya antibodi dari reseptor androgen pada angiofibroma. Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi proliferasi agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1 (TGF-1) atau faktor pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah untuk menghasilkan bentuk aktif, dan kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1 mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif diidentifikasi pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada semua spesimen angiofibroma nasofaring juvenile.

2.5  Patofisiologi

            Menurut Mansfield E., asal mula JNA terletak di sepanjang dinding posterior-lateral di atap nasofaring, biasanya di daerah margin superior foramen sfenopalatina dan aspek posterior dari middle turbinate.
Histologi janin mengkonfirmasikan luasnya area jaringan endotel di daerah ini. Bukannya menyerbu jaringan disekitarnya, namun tumor ini berpindah dan berubah menyandarkan diri pada tekanan sel-sel yang telah mati (necrosis) untuk merusak dan menekan melalui perbatasan yang banyak tulangnya. Pada 10-20% kasus, terjadi perluasan intrakranial. Menurut Tewfik TL., tumor mulai tumbuh di dekat foramen sfenopalatina. Tumor-tumor yang besar seringkali memiliki dua lobus (bilobed) atau dumbbell-shaped, dengan satu bagian tumor mengisi nasofaring dan bagian yang lainnya meluas ke fossa pterigopalatina.
            Pertumbuhan anterior terjadi pada membran mukosa nasofaring, memindahkannya ke anterior dan inferior menuju ke ruang postnasal. Pada akhirnya, rongga hidung terisi pada satu sisinya, dan septumnya berdeviasi (”bengkok”) ke sisi lainnya. Pertumbuhan superior langsung menuju sinus sfenoid, yang dapat juga terjadi erosi (eroded). Cekungan sinus (cavernous sinus) dapat “diserbu” atau diinvasi juga jika tumor berkembang lebih lanjut.
            Penyebaran lateral langsung menuju fossa pterigopalatina, mendesak dinding posterior sinus maksila. Lalu, fossa infratemporal dimasuki atau diinvasi.
Adakalanya, bagian sfenoid yang lebih besar (the greater wing of the sphenoid) dapat ter-erosi, membuka middle fossa dura. Terjadi proptosis dan atrofi nervus optikus jika fissura orbita didesak oleh tumor.
Kejadian angiofibroma ekstranasofaring sangatlah jarang dan cenderung terjadi pada pasien yang lebih tua, terutama pada wanita, namun tumor jenis ini lebih sedikit melibatkan pembuluh darah (less vascular) dan kurang agresif (less aggressive) jika dibandingkan dengan JNA.
            Secara makroskopik, angiofibroma nampak sebagai keras, berlobulasi membengkak agak lembut, menyesuaikan dengan peningkatan umur. Warnanya bervariasi dari merah muda sampai putih. Bagian yang terlihat di nasofaring dan karena itu dibungkus oleh membran mukous tetap berwarna merah muda, sedangkan bagian yang keluar ke daerah yang berdekatan ekstrafaringeal sering berwarna putih atau abu-abu. Secara histologik, angiofibroma kebanyakan terdiri dari jaringan fibrosa padat menyisipkan dengan pembuluh darah dari ukuran bervariasi dan konfigurasi. Pembuluh darah biasanya mudah pecah dan dilapisi oleh lapisan tunggal dari endotelium. Karena dindingnya hanya dari lapisan elastik dan lapisan otot halus, pembuluh darah ini tidak dapat mengalami vasokonstriksi ketika terjadi trauma, menyebabkan perdarahan yang berlimpah.
            Tumor yang berlangsung lama, cenderung kearah penekanan perlahan dari sinusoid, jadi batas endotelial sel terdorong saling berlawanan arah seperti kabel, sementara lainnya terjadi trombosis intravaskular. Komponen fibrosa biasanya padat dan seluler. Sel stromal, yang melambangkan fibroblas dan atau miofibroblas, mengelilingi pada nukleus stellata dan kadang-kadang, nekleolus prominent. Mitosis tidak ada. Mikroskop elektron memperlihatkan karakteristik dari granula kromatin padat terdistribusi dalam nukleus dari fibroblas.
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak tetapi invasif lokal dan merusak struktur sekitarnya. Dapat meluas ke dalam:
1.      Cavum nasi menyebabkan obstruksi nasi, epistaksis dan pengeluaran cairan hidung.
2.      Sinus-sinus paranasalis. Sinus maksillaris, sfenoidales dan ethmoidales semua dapat diserang.
3.      Fossa pterygomaksillaris, fossa infratemporalis dan pipi.
4.      Orbita memberikan gejala prodtosis dan deformitas ”face-frog”. Masuk melalui fissura orbitalis inferior dan juga merusak apeks dari orbita. Dapat juga masuk ke orbita melalui fissura orbitalis superior.
5.      Cavum kranial. Fossa kranialis media yang paling sering.

Ada 2 jalan masuknya :
1.      Dengan pengrusakan lantai fossa kranialis media anterior ke foramen lacerum. Tumor berada dilateral dari arteri karotis dan sinus kavernosus.
2.      Melalui sinus sfenoid, kedalam sella. Tumor berada dimedial dari arteri karotikus.

2.6  Manifestasi klinis

·         Tanda
1)      Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal posterior; nonencapsulated dan seringkali berlobus (lobulated); dapat tidak bertangkai (sessile) atau bertangkai (pedunculated). Angka kejadian massa di hidung (nasal mass) ini mencapai 80%.
2)       Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut yang membengkak (a bulging palate), terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral buccal mucosa mass), massa di pipi (cheek mass), atau pembengkakan zygoma (umumnya disertai dengan perluasan setempat). Angka kejadian massa di rongga mata (orbital mass) ini sekitar 15%, sedangkan angka kejadian untuk mata menonjol (proptosis) sekitar 10-15%.
3)       Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba eustachius, pembengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang) yang merupakan tanda bahwa tumor telah menyebar ke fossa infratemporal. Juga terdapat penurunan penglihatan yang dikarenakan optic nerve tenting, namun hal ini jarang terjadi.
·      Gejala
1)      Obstruksi nasal (80-90%) dan ingus (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang paling sering, terutama pada permulaan penyakit.
2)       Sering mimisen (epistaxis) atau keluar cairan dari hidung yang berwarna darah (blood-tinged nasal discharge). Mimisen, yang berkisar 45-60% ini, biasanya satu sisi (unilateral) dan berulang (recurrent).
3)      Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang.
4)      Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.
5)      Tuli konduktif (conductive hearing loss) dari obstruksi tuba eustachius.
6)       Melihat dobel (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke rongga kranial dan tekanan pada kiasma optik.
7)      Gejala lainnya yang bisa juga terjadi misalnya: keluar ingus satu sisi (unilateral rhinorrhea), tidak dapat membau (anosmia), berkurangnya sensitivitas terhadap bau (hyposmia), recurrent otitis media, nyeri mata (eye pain), tuli (deafness), nyeri telinga (otalgia), pembengkakan langit-langit mulut (swelling of the palate), kelainan bentuk pipi (deformity of the cheek), dan rhinolalia.

2.7  Komplikasi

            Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit stadium IV), perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, iatrogenic injury terhadap struktur vital, dan transfusi perioperative.

            Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive bleeding). Transformasi keganasan (malignant transformation). Kebutaan sementara (transient blindness) sebagai hasil embolisasi, namun ini jarang terjadi. Osteoradionecrosis dan atau kebutaan karena kerusakan saraf mata dapat terjadi dengan radioterapi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the cheek) sering terjadi dengan insisi Weber-Ferguson.

2.8  Pemeriksaan Diagnostik

1.   Penemuan Histologis
            Pada pemeriksaan histologis, ditemukan jaringan serabut yang telah dewasa/matang (mature fibrous tissue) yang mengandung bermacam-macam pembuluh darah yang berdinding tipis. Pembuluh-pembuluh darah ini dilapisi dengan endothelium, namun mereka kekurangan elemen-elemen otot yang dapat berkontraksi secara normal. Inilah yang dapat menjelaskan tentang kecenderungan terjadi perdarahan.

2.      Laboratorium
            Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada keadaan ini.

3.      Biopsi
Kebanyakan kasus dari angiofibroma nasofaring juvenile tidak dianjurkan untuk biopsi sebelum reseksi defenitif. Walaupun didapatkan gambaran radiologis yang klasik, bagaimanapun, tidak ada tanda absolut dari angiofibroma. Jika tumor atipikal atau jika gambaran klinik tidak biasa, seharusnya dipertimbangkan untuk biopsi sebelum tumor direseksi. Bila diperlukan, biopsi dari kasus yang dicurigai angiofibroma dapat dilakukan di ruang operasi.

4.      Pemeriksaan Radiologis
a.      FOTO SINAR-X
            Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam nasofaring. Holman dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada foto lateral, yang tergantung pada lokasi tipikal dalam alur pterygomaksillaris. Ini dikenal sebagai “tanda antral” dan terdiri dari tulang Memperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang besar, atau invasif dari pterygomaksillaris dan fossa infratemporal biasanya terlihat.

b.      MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING)
Diindikasikan untuk menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor, terutama pada kasus-kasus dari keterlibatan intrakranial.
c.       ANGIOGRAFI
Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak (ramai). Pada Angiografi ini terlihat lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri maxillaris interna. Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan adanya penyebaran intrakranial atau pada pasien dimana pada penanganan sebelumnya gagal.

2.9  Penatalaksanaan Medis
1.      Terapi Medis
a.      Hormonal
Penghambat reseptor testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor stadium I dan II sampai 44%. Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, jalan ini tidak digunakan secara rutin.
·         Flutamide hormonal, suatu nonsteroidal androgen blocker atau testosterone receptor blocker, efektif untuk mengurangi ukuran tumor pada stadium I dan II hingga 44%.
·         Terapi hormonal dengan diethylstilbestrol (5 mg PO tid untuk 6 minggu) sebelum eksisi dapat mengurangi vascularity JNA namun terkait dengan efek samping memiliki sifat kewanitaan (feminizing side effects).
·         Doxorubicin dan dacarbazine disiapkan jika JNA berulang atau kambuh.
·         Schuon, et.al. melaporkan analisis immunohistochemical dari mekanisme pertumbuhan JNA. Mereka berkesimpulan bahwa pertumbuhan dan vaskularisasi JNA dikendalikan oleh faktor-faktor yang dibebaskan dari stromal fibroblasts. Oleh karena itu, dihambatnya faktor-faktor ini dapat bermanfaat untuk terapi JNA yang tidak dapat dioperasi (inoperable).

b.      Radioterapi
        Beberapa pusat melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi radiasi. Bagaimanapun, menganggap hubungan efek potensial dari radiasi membuat terapi radiasi modalitas yang tidak berguna dalam banyak kasus. Radioterapi stereotaktik (seperti sinar Gamma) mengirim sedikit dosis dari radiasi ke jaringan sekitarnya. Bagaimanapun, kebanyakan penulis menyiapkan radioterapi untuk penyakit intrakranial atau kasus rekuren.
·      Beberapa center telah melaporkan rata-rata kesembuhan 80% dengan  terapi radiasi.
·      Radioterapi stereotactic (yakni: pisau Gamma) mengirimkan dosis radiasi yang lebih rendah ke jaringan di sekitarnya. Para ahli telah menyediakan radioterapi untuk penyakit intrakranial atau kasus yang berulang.
·      Radioterapi three-dimensional conformal untuk JNA yang luas (extensive) atau penyebaran hingga intrakranial memberikan suatu alternatif yang baik untuk radioterapi konvensional berkaitan dengan pengendalian penyakit dan morbiditas akibat radiasi (radiation morbidity).
·      External beam irradiation, paling sering digunakan untuk penyakit intrakranial yang tidak dapat dibedah (unresectable), atau kambuhan (recurrent). Digunakan dosis yang bervariasi dari 30-46 Gy. Sisa tumor seringkali muncul dua tahun setelah terapi. Perhatian utama termasuk kulit sekunder, tulang, jaringan lunak, keganasan tiroid, dan hambatan perkembangan tulang wajah.

c.       Embolisasi
        Embolisasi pada pembuluh darah tumor mengakibatkan tumor menjadi jaringan parut dan menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan memasukkan suatu zat dalam pembuluh darah untuk membendung aliran darah. Dengan embolisasi saja cukup untuk menghentikan perdarahan hidung, atau dapat diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat tumor.

2.      Terapi Pembedahan
a.       Beberapa pendekatan yang digunakan tergantung dari lokasi dan perluasan JNA.
b.      Rute rinotomi lateral, transpalatal, transmaksila, atau sphenoethmoidal digunakan untuk tumor-tumor yang kecil (Klasifikasi Fisch stadium I atau II).
c.       Pendekatan fossa infratemporal digunakan ketika tumor telah meluas ke lateral.
d.      Pendekatan midfacial degloving, dengan atau tanpa osteotomi LeFort, memperbaiki akses posterior terhadap tumor.
e.       Pendekatan translokasi wajah dikombinasikan dengan insisi Weber-Ferguson dan perluasan koronal untuk kraniotomi frontotemporal dengan midface osteotomies untuk jalan masuk.
f.       Pendekatan extended anterior subcranial memudahkan pemotongan tumor sekaligus (en bloc), dekompresi saraf mata, dan pembukaan sinus kavernosus.
g.      Intranasal endoscopic surgery dipersiapkan untuk tumor yang terbatas pada rongga hidung dan sinus paranasal.

MANAJEMEN KEPARAWATAN

2.10       Pengkajian
Pengkajian keperawatan adalah proses sistematis dari pengumpulan, verifikasi, dan komunikasi data tentang klien. (Potter, Patricia A. 2005. Hal 144)
1.      Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek dengan riwayat kanker payudara.
2.      Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu.
3.      Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang diawetkan (daging dan ikan).
4.      Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)

Pada pengkajian Angiofibroma Nasofaring Juvenilis ditemukan tanda dan gejalanya yaitu :
1.      Aktivitas
Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.
2.      Sirkulasi
Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah, epistaksis/perdarahan hidaung.
3.      IntegritasEgo
Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah.
4.      Eliminasi
Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan bising usus, distensi abdomen.
5.      Makanan/cairan
Kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia, mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.
6.      Neurosensori
Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus
7.      Nyeri/kenyamanan
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan
8.      Pernapasan
Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok)
9.      Keamanan
Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama / berlebihan, demam, ruam kulit.
10.  Interaksisosial
Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung
2.11       Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menguraikan respons actual atau potensial klien terhadap masalah kesehatan yang perawat mempunyai izin dan berkompeten untuk mengatasinya. (Potter, Patricia A. 2005. Hal 166)
Diagnosa Keperawatannya adalah :
1.      Nyeri berhubungan dengan kompresi/destruksi jaringan saraf
2.      Gangguan sensori persepsi berubungan dengan gangguan status organ sekunder
3.      Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual muntah sekunder
4.      Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder imunosupresi
5.      Resiko terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan sistem hematopoetik
2.12       Intervensi

·         Diagnosa I : Nyeri berhubungan dengan kompresi/destruksi jaringan saraf.
Tujuan : rasa nyeri teratasi atau terkontrol
Kriteria hasil : mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri.

Intervensi Keperawatan :
1.    Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi, frekuensi, durasi
2.    Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung) dan 
     aktivitas hiburan.
3.    Dorong penggunaan ketrampilan manajemen nyeri (teknik relaksasi, visualisasi, bimbingan imajinasi) musik, sentuhan terapeutik.
4.    Evaluasi penghilangan nyeri atau kontrol
5.    Kolaborasi : berikan analgesik sesuai indikasi misalnya Morfin, metadon atau  
    campuran narkotik.

·         Diagnosa 2 : Gangguan sensori persepsi berubungan dengan gangguan status organ sekunder.
Tujuan : mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi
 Kriteria hasil : mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan

Intervensi Keperawatan :
1. Tentukan ketajaman penglihatan, apakah satu atau dua mata terlibat.
2. Orientasikan pasien terhadap lingkungan
3. Observasi tanda-tanda dan gejala disorientasi
4. Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur
5. Bicara dengan gerak mulut yang jelas
6. Bicara pada sisi telinga yang sehat

·         Diagnosa 3 : Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual muntah  sekunder
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria hasil :
1.      Melaporkan penurunan mual dan insidens muntah
2.      Mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat
3.      Menunjukkan turgor kulit normal dan membran mukosa yang lembab
4.      Melaporkan tidak adanya penurunan berat badan tambahan
  
 Intervensi Keperawatan :
1.      Sesuaikan diet sebelum dan sesudah pemberian obat sesuai dengan kesukaan dan toleransi pasien
2.      Berikan dorongan higiene oral yang sering
3.      Berikan antiemetik, sedatif dan kortikosteroid yang diresepkan
4.      Pastikan hidrasi cairan yang adekuat sebelum, selama dan setelah pemberian obat, kaji masukan dan haluaran.
5.      Pantau masukan makanan tiap hari
6.      Ukur TB, BB dan ketebalan kulit trisep (pengukuran antropometri)
7.      Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori, kaya nutrien dengan masukan cairan adekuat.
8.      Kontrol faktor lingkungan (bau dan panadangan yang tidak sedap dan kebisingan)

·         Diagnosa 4 : Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder  imunosupresi.
Tujuan : tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil :
1.      Menunjukkan suhu normal dan tanda-tanda vital normal
2.      Tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi : edema setempat, eritema, nyeri.
3.      Menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan nafas dalam untuk menegah disfungsi dan infeksi respiratori

Intervensi Keperawatan :
1.      Kaji pasienterhadap bukti adanya infeksi
2.      Periksa tanda vital, pantau jumlah SDP, tempat masuknya patogen, demam, menggigil, perubahan respiratori atau status mental, frekuensi berkemih atau rasa perih saat berkemih
3.      Tingkatkan prosedur cuci tangan yang baik pada staf dan pengunjung, batasi pengunjung yang mengalami infeksi.
4.      Tekankan higiene personal
5.      Pantau suhu
6.      Kaji semua sistem (pernafasan, kulit, genitourinaria)

·         Diagnosa 5 : Resiko terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan sistem hematopoetik
Tujuan : perdarahan dapat teratasi
 Kriteria hasil :
1.      Tanda dan gejala perdarahan teridentifikasi
2.      Tidak menunjukkan adanya epistaksis

 Intervensi Keperawatan
1.      Kaji terhadap potensial perdarahan : pantau jumlah trombosit
2.      Kaji terhadap perdarahan : epsitaksis
3.      Instruksikan cara-cara meminimalkan perdarahan : minimalkan penekanan/ gesekan pada hidung.

2.13       Implementasi
        Implementasi merupakan komponen dari proses keperawatan, adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang digunakan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan. (Potter, Patricia A. 2005. Hal 203)

2.14       Evaluasi
        Evaluasi menentukan respons klien terhadap tindakan keperawatan dan seberapa jauh tujuan perawatan telah terpenuhi. (Potter, Patricia A. 2005. Hal 229)
Evaluasi juga merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan, hasil yang diharapkan merupakan standar penilaian bagi perawat untuk melihat apakah tujuan telah terpenuhi, dengan pelayanan telah berhasil ((Potter, Patricia A. 2009. Hal 460)
1)      Diagnosa 1
Rasa nyeri pasien teratasi atau terkontrol dengan kriteria hasil dapat mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri.

2)      Diagnosa 2
Pasien mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi dengan kriteria hasil  dapat mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan.

3)      Diagnosa 3
Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi dengan kriteria hasil adanya penurunan mual dan insidens muntah, pasien mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat, pasien menunjukkan turgor kulit normal dan membran mukosa yang lembab dan tidak adanya penurunan berat badan tambahan.

4)      Diagnosa 4
Tidak terjadi infeksi pada pasien dengan kriteria hasil pasien menunjukkan suhu normal dan tanda-tanda vital normal, tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi : edema setempat, eritema, nyeri dan menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan nafas dalam untuk menegah disfungsi dan infeksi respiratori.


5)      Diagnosa 5
Perdarahan pada pasien dapat teratasi dengan kriteria hasil tanda dan gejala perdarahan teridentifikasi dan tidak menunjukkan adanya epistaksis.



DAFTAR PUSTAKA

  • Potter, Patricia A. 2005. Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik                    Edisi 4. Jakarta : EGC
  • Potter, Patricia A. 2005. Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik                    Vol 1.E/A. Jakarta : EGC
  • Soepardi, Efiaty A., dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Jakarta: FKUI
  • ________. “Angiofibroma Nasofaring Juvenile” diunduh dari http://kireihimee.blogspot.com/2009/10/angiofibroma-nasofaring-juvenile.html, tanggal 14 Mei 2012, pukul 09.00 WIB
  • ________. “Angiofibroma Nasofaring Juvenile” diunduh dari http://www.alhamsyah.com/blog/doc/angiofibroma+nasofaring+juvenile.html, tanggal 14 Mei 2012, pukul 09.20 WIB
  • ________. “Angiofibroma Nasofaring” diunduh dari http://jangan-sakit.blogspot.com/2009/07/angiofibroma-nasofaring.html, tanggal 14 Mei 2012, pukul 09.30 WIB
  • ________. “Angiofibroma Nasofaring” diunduh dari http://www.klinikdokteronline.com/pdf/biopsi-angiofibroma-nasofaring.html, tanggal 14 Mei 2012, pukul 09.30 WIB
  •  Aminy, Uyunk. “Angiofibroma Nasofaring Juvenile” diunduh dari http://luv4all.wordpress.com/2011/03/27/angiofibroma-nasofaring-juvenile/, tanggal 14 Mei 2012, pukul 10.00 WIB





Tidak ada komentar:

Posting Komentar