ASKEP ANGIOFIBROMA
NASOFARING JUVENILIS
BAB
2
PEMBAHASAN
KONSEP
DASAR
2.1 Pengertian
Angiofibroma
nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang secara
histolagik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan
mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti kesinus
paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit
dihentikan.
2.2 Anatomi
Ruang
nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan yang erat
dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting.
1.
Pada dinding posterior meluas ke arah
kubah adalah jaringan adenoid.
2. Terdapat
jaringan limfoid pada dinding faring lateral dan pada resessus faringeus, yang dikenal sebagai fossa
Rosenmuller.
3. Torus
tubarius, refleksi mukosa faring di atas bagian kartilago saluran tuba
eustachii yang berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai tonjolan seperti
ibu jari ke dinding lateral nasofaring tepat diatas perlekatan palatum mole.
4. Koana pada posterior rongga hidung.
5. Foramina
kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan dari
penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh saraf kranial
glossofaringeus, vagus, dan spinal assesori.
6. Struktur
pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk sinus petrosus
inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksiput dan
arteri faringea asendens, dan foramen hipoglossus yang dilalui saraf
hipoglossus.
7. Tulang
temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat bagian
lateral atap nasofaring.
8. Ostium
dari sinus-sinus sfenoid.
9. Lokasi
dari tumor masih menjadi perdebatan. Awalnya dikira muncul dari akar nasofaring
atau dinding anterior dari tulang sfenoid tetapi sekarang dipercaya muncul dari
bagian posterior dari kavum nasi dekat dengan tepi dari foramen sphenopalatina.
Dari sini tumor bertumbuh masuk kedalam kavum nasi, nasofaring dan kedalam
fossa pterygopalatina, berjalan dibelakang dinding posterior dari sinus
maksillaris dimana menekan kedepan dari pertumbuhan tumor.
2.3 Epidemiologi
Juvenile
nasopharyngeal angiofibroma (JNA) banyak dialami terutama
remaja putra berusia 14-18 tahun. Jika remaja putri didiagnosis JNA, maka
sebaiknya menjalani pemeriksaan kromosom atau diagnosis JNA akan terus
dipertanyakan. Umumnya JNA terjadi pada dekade kedua kehidupan, tepatnya pada
rentang usia 7-19 tahun. JNA jarang terjadi setelah usia 25 tahun.
Insiden JNA adalah 1
dari 5000-60.000 kasus THT dan dilaporkan 0,5% dari semua tumor kepala dan
leher. Dilaporkan insiden JNA banyak terjadi di Mesir dan India.
Insiden dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari
belahan dunia, seperti pada Timur Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich dan Abels
(1948) melaporkan rata-rata setiap tahunnya dari satu atau dua pasien untuk
2000 pasien yang diobati pada Head and Neck Service of The Memorial Hospital,
New York. Di London, Harrison (1976) mencatat status dari satu per 15000 pasien
pada Royal National Throat, Nose and Ear Hospital dimana satu kesimpulan bahwa
lebih sedikit angiofibroma di London dibanding di New York.
2.4 Etiologi
Penyebab
pastinya belum dapat ditentukan. Namun teori yang paling dapat diterima adalah
bahwa JNA berasal dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue yang
terletak di turbinate cartilage. Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini dapat
menjelaskan mengapa beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute) setelah masa
remaja (puberty).
Teori
lainnya yang diajukan adalah tumor berasal dari embryonal chondrocartilage yang
berada di occipital plate. Selain itu, ada juga teori tentang respon
desmoplastic dari nasopharyngeal periosteum atau embryonic fibrocartilage
antara basiocciput dan basisphenoid. Teori tentang penyebab dari sel-sel
paraganglionik nonkromafin dari cabang terminal arteri maksilaris juga
dipostulasikan. Hasil analisis hibridisasi genomik komparatif dari tumor ini
juga berhasil mengungkapkan delesi kromosom 17, termasuk daerah untuk tumor
suppressor gene p53 sama seperti Her-2/neu oncogene.
Berbagai
macam teori banyak dikemukakan. Salah satu diantaranya adalah teori jaringan
asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di
dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor hormonal dikemukakan sebagai
penyebabnya. Banyak bukti memperlihatkan secara langsung adanya reseptor
seks-hormon, seperti reseptor androgen (RA), reseptor estrogen (RE), dan
reseptor progesteron (RP), pada tumor ini. Bukti ini secara langsung memperlihatkan
bahwa reseptor seks-hormon muncul pada angiofibroma dengan menggunakan teknik
sensitive immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang mana memperlihatkan
reseptor tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan
penyimpanan, dan studi imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada RA, RP,
dan RE. Stromal positif dan nukleus endotelial immunostaining, menunjukkan
adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3% positif andibodi RP dan negatif dengan
antibodi dengan RE.
Hasil menetapkan bukti langsung pertama adanya
antibodi dari reseptor androgen pada angiofibroma. Penelitian lain menunjukkan
adanya faktor pertumbuhan yang memediasi proliferasi agresif sel stromal dan
angiogenesis. Transforming Growth Factor-1 (TGF-1) atau faktor pertumbuhan pengubah-1
adalah polipeptida yang disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah untuk
menghasilkan bentuk aktif, dan kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1
mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis.
TGF-1 aktif diidentifikasi pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada
endotelium kapiler pada semua spesimen angiofibroma nasofaring juvenile.
2.5 Patofisiologi
Menurut
Mansfield E., asal mula JNA terletak di sepanjang dinding posterior-lateral di
atap nasofaring, biasanya di daerah margin superior foramen sfenopalatina dan
aspek posterior dari middle turbinate.
Histologi janin mengkonfirmasikan
luasnya area jaringan endotel di daerah ini. Bukannya menyerbu jaringan
disekitarnya, namun tumor ini berpindah dan berubah menyandarkan diri pada
tekanan sel-sel yang telah mati (necrosis) untuk merusak dan menekan melalui
perbatasan yang banyak tulangnya. Pada 10-20% kasus, terjadi perluasan
intrakranial. Menurut Tewfik TL., tumor mulai tumbuh di dekat foramen
sfenopalatina. Tumor-tumor yang besar seringkali memiliki dua lobus (bilobed)
atau dumbbell-shaped, dengan satu bagian tumor mengisi nasofaring dan bagian
yang lainnya meluas ke fossa pterigopalatina.
Pertumbuhan
anterior terjadi pada membran mukosa nasofaring, memindahkannya ke anterior dan
inferior menuju ke ruang postnasal. Pada akhirnya, rongga hidung terisi pada
satu sisinya, dan septumnya berdeviasi (”bengkok”) ke sisi lainnya. Pertumbuhan
superior langsung menuju sinus sfenoid, yang dapat juga terjadi erosi (eroded).
Cekungan sinus (cavernous sinus) dapat “diserbu” atau diinvasi juga jika tumor
berkembang lebih lanjut.
Penyebaran
lateral langsung menuju fossa pterigopalatina, mendesak dinding posterior sinus
maksila. Lalu, fossa infratemporal dimasuki atau diinvasi.
Adakalanya, bagian sfenoid yang
lebih besar (the greater wing of the sphenoid) dapat ter-erosi, membuka middle
fossa dura. Terjadi proptosis dan atrofi nervus optikus jika fissura orbita
didesak oleh tumor.
Kejadian angiofibroma
ekstranasofaring sangatlah jarang dan cenderung terjadi pada pasien yang lebih
tua, terutama pada wanita, namun tumor jenis ini lebih sedikit melibatkan
pembuluh darah (less vascular) dan kurang agresif (less aggressive) jika
dibandingkan dengan JNA.
Secara
makroskopik, angiofibroma nampak sebagai keras, berlobulasi membengkak agak
lembut, menyesuaikan dengan peningkatan umur. Warnanya bervariasi dari merah
muda sampai putih. Bagian yang terlihat di nasofaring dan karena itu dibungkus
oleh membran mukous tetap berwarna merah muda, sedangkan bagian yang keluar ke
daerah yang berdekatan ekstrafaringeal sering berwarna putih atau abu-abu.
Secara histologik, angiofibroma kebanyakan terdiri dari jaringan fibrosa padat
menyisipkan dengan pembuluh darah dari ukuran bervariasi dan konfigurasi.
Pembuluh darah biasanya mudah pecah dan dilapisi oleh lapisan tunggal dari
endotelium. Karena dindingnya hanya dari lapisan elastik dan lapisan otot
halus, pembuluh darah ini tidak dapat mengalami vasokonstriksi ketika terjadi
trauma, menyebabkan perdarahan yang berlimpah.
Tumor
yang berlangsung lama, cenderung kearah penekanan perlahan dari sinusoid, jadi
batas endotelial sel terdorong saling berlawanan arah seperti kabel, sementara
lainnya terjadi trombosis intravaskular. Komponen fibrosa biasanya padat dan
seluler. Sel stromal, yang melambangkan fibroblas dan atau miofibroblas,
mengelilingi pada nukleus stellata dan kadang-kadang, nekleolus prominent.
Mitosis tidak ada. Mikroskop elektron memperlihatkan karakteristik dari granula
kromatin padat terdistribusi dalam nukleus dari fibroblas.
Angiofibroma nasofaring adalah
tumor jinak tetapi invasif lokal dan merusak struktur sekitarnya. Dapat meluas
ke dalam:
1. Cavum
nasi menyebabkan obstruksi nasi, epistaksis dan pengeluaran cairan hidung.
2. Sinus-sinus
paranasalis. Sinus maksillaris, sfenoidales dan ethmoidales semua dapat
diserang.
3. Fossa
pterygomaksillaris, fossa infratemporalis dan pipi.
4. Orbita
memberikan gejala prodtosis dan deformitas ”face-frog”. Masuk melalui fissura
orbitalis inferior dan juga merusak apeks dari orbita. Dapat juga masuk ke
orbita melalui fissura orbitalis superior.
5. Cavum
kranial. Fossa kranialis media yang paling sering.
Ada 2 jalan masuknya :
1. Dengan
pengrusakan lantai fossa kranialis media anterior ke foramen lacerum. Tumor
berada dilateral dari arteri karotis dan sinus kavernosus.
2. Melalui
sinus sfenoid, kedalam sella. Tumor berada dimedial dari arteri karotikus.
2.6 Manifestasi klinis
·
Tanda
1) Tampak
massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal posterior;
nonencapsulated dan seringkali berlobus (lobulated); dapat tidak bertangkai
(sessile) atau bertangkai (pedunculated). Angka kejadian massa di hidung (nasal
mass) ini mencapai 80%.
2) Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut
yang membengkak (a bulging palate), terdapat massa mukosa pipi intraoral (an
intraoral buccal mucosa mass), massa di pipi (cheek mass), atau pembengkakan
zygoma (umumnya disertai dengan perluasan setempat). Angka kejadian massa di
rongga mata (orbital mass) ini sekitar 15%, sedangkan angka kejadian untuk mata
menonjol (proptosis) sekitar 10-15%.
3) Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena
terhalangnya tuba eustachius, pembengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang
otot rahang) yang merupakan tanda bahwa tumor telah menyebar ke fossa
infratemporal. Juga terdapat penurunan penglihatan yang dikarenakan optic nerve
tenting, namun hal ini jarang terjadi.
· Gejala
1) Obstruksi
nasal (80-90%) dan ingus (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang paling sering,
terutama pada permulaan penyakit.
2) Sering mimisen (epistaxis) atau keluar cairan
dari hidung yang berwarna darah (blood-tinged nasal discharge). Mimisen, yang
berkisar 45-60% ini, biasanya satu sisi (unilateral) dan berulang (recurrent).
3) Sakit
kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang.
4) Pembengkakan
di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.
5) Tuli
konduktif (conductive hearing loss) dari obstruksi tuba eustachius.
6) Melihat dobel (diplopia), yang terjadi
sekunder terhadap erosi menuju ke rongga kranial dan tekanan pada kiasma optik.
7) Gejala
lainnya yang bisa juga terjadi misalnya: keluar ingus satu sisi (unilateral
rhinorrhea), tidak dapat membau (anosmia), berkurangnya sensitivitas terhadap
bau (hyposmia), recurrent otitis media, nyeri mata (eye pain), tuli (deafness),
nyeri telinga (otalgia), pembengkakan langit-langit mulut (swelling of the
palate), kelainan bentuk pipi (deformity of the cheek), dan rhinolalia.
2.7 Komplikasi
Komplikasi
tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit stadium IV),
perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, iatrogenic injury terhadap
struktur vital, dan transfusi perioperative.
Komplikasi
lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive bleeding). Transformasi
keganasan (malignant transformation). Kebutaan sementara (transient blindness)
sebagai hasil embolisasi, namun ini jarang terjadi. Osteoradionecrosis dan atau
kebutaan karena kerusakan saraf mata dapat terjadi dengan radioterapi. Mati
rasa di pipi (anesthesia of the cheek) sering terjadi dengan insisi
Weber-Ferguson.
2.8 Pemeriksaan Diagnostik
1.
Penemuan
Histologis
Pada
pemeriksaan histologis, ditemukan jaringan serabut yang telah dewasa/matang
(mature fibrous tissue) yang mengandung bermacam-macam pembuluh darah yang
berdinding tipis. Pembuluh-pembuluh darah ini dilapisi dengan endothelium,
namun mereka kekurangan elemen-elemen otot yang dapat berkontraksi secara
normal. Inilah yang dapat menjelaskan tentang kecenderungan terjadi perdarahan.
2.
Laboratorium
Anemia
yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada keadaan ini.
3.
Biopsi
Kebanyakan kasus dari angiofibroma
nasofaring juvenile tidak dianjurkan untuk biopsi sebelum reseksi defenitif.
Walaupun didapatkan gambaran radiologis yang klasik, bagaimanapun, tidak ada
tanda absolut dari angiofibroma. Jika tumor atipikal atau jika gambaran klinik
tidak biasa, seharusnya dipertimbangkan untuk biopsi sebelum tumor direseksi.
Bila diperlukan, biopsi dari kasus yang dicurigai angiofibroma dapat dilakukan
di ruang operasi.
4.
Pemeriksaan
Radiologis
a.
FOTO
SINAR-X
Pada foto sinar-X tumor nampak
sebagai massa jaringan lunak dalam nasofaring. Holman dan Miller menggambarkan
karakteristik dari tumor ini pada foto lateral, yang tergantung pada lokasi
tipikal dalam alur pterygomaksillaris. Ini dikenal sebagai “tanda antral” dan
terdiri dari tulang Memperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari sayap
sfenoid yang besar, atau invasif dari pterygomaksillaris dan fossa
infratemporal biasanya terlihat.
b.
MRI
(MAGNETIC RESONANCE IMAGING)
Diindikasikan untuk menggambarkan
dan menjelaskan batas dari tumor, terutama pada kasus-kasus dari keterlibatan
intrakranial.
c.
ANGIOGRAFI
Dengan angiografi terlihat gambaran
vaskuler yang banyak (ramai). Pada Angiografi ini terlihat lesi vaskuler yang
terutama disuplai oleh cabang dari arteri maxillaris interna. Angiografi
terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan adanya penyebaran intrakranial
atau pada pasien dimana pada penanganan sebelumnya gagal.
2.9 Penatalaksanaan Medis
1.
Terapi
Medis
a.
Hormonal
Penghambat reseptor testosteron
flutamide dilaporkan mengurangi tumor stadium I dan II sampai 44%. Walaupun
mereduksi tumor dengan hormon, jalan ini tidak digunakan secara rutin.
·
Flutamide hormonal, suatu nonsteroidal
androgen blocker atau testosterone receptor blocker, efektif untuk mengurangi
ukuran tumor pada stadium I dan II hingga 44%.
·
Terapi hormonal dengan
diethylstilbestrol (5 mg PO tid untuk 6 minggu) sebelum eksisi dapat mengurangi
vascularity JNA namun terkait dengan efek samping memiliki sifat kewanitaan
(feminizing side effects).
·
Doxorubicin dan dacarbazine disiapkan
jika JNA berulang atau kambuh.
·
Schuon, et.al. melaporkan analisis
immunohistochemical dari mekanisme pertumbuhan JNA. Mereka berkesimpulan bahwa
pertumbuhan dan vaskularisasi JNA dikendalikan oleh faktor-faktor yang
dibebaskan dari stromal fibroblasts. Oleh karena itu, dihambatnya faktor-faktor
ini dapat bermanfaat untuk terapi JNA yang tidak dapat dioperasi (inoperable).
b.
Radioterapi
Beberapa
pusat melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi radiasi.
Bagaimanapun, menganggap hubungan efek potensial dari radiasi membuat terapi
radiasi modalitas yang tidak berguna dalam banyak kasus. Radioterapi
stereotaktik (seperti sinar Gamma) mengirim sedikit dosis dari radiasi ke
jaringan sekitarnya. Bagaimanapun, kebanyakan penulis menyiapkan radioterapi
untuk penyakit intrakranial atau kasus rekuren.
· Beberapa
center telah melaporkan rata-rata kesembuhan 80% dengan terapi radiasi.
· Radioterapi
stereotactic (yakni: pisau Gamma) mengirimkan dosis radiasi yang lebih rendah
ke jaringan di sekitarnya. Para ahli telah menyediakan radioterapi untuk
penyakit intrakranial atau kasus yang berulang.
· Radioterapi
three-dimensional conformal untuk JNA yang luas (extensive) atau penyebaran
hingga intrakranial memberikan suatu alternatif yang baik untuk radioterapi
konvensional berkaitan dengan pengendalian penyakit dan morbiditas akibat
radiasi (radiation morbidity).
· External
beam irradiation, paling sering digunakan untuk penyakit intrakranial yang
tidak dapat dibedah (unresectable), atau kambuhan (recurrent). Digunakan dosis
yang bervariasi dari 30-46 Gy. Sisa tumor seringkali muncul dua tahun setelah
terapi. Perhatian utama termasuk kulit sekunder, tulang, jaringan lunak,
keganasan tiroid, dan hambatan perkembangan tulang wajah.
c.
Embolisasi
Embolisasi pada
pembuluh darah tumor mengakibatkan tumor menjadi jaringan parut dan
menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan memasukkan suatu zat dalam
pembuluh darah untuk membendung aliran darah. Dengan embolisasi saja cukup
untuk menghentikan perdarahan hidung, atau dapat diikuti dengan pembedahan
untuk mengangkat tumor.
2.
Terapi
Pembedahan
a.
Beberapa pendekatan yang digunakan
tergantung dari lokasi dan perluasan JNA.
b.
Rute rinotomi lateral, transpalatal,
transmaksila, atau sphenoethmoidal digunakan untuk tumor-tumor yang kecil
(Klasifikasi Fisch stadium I atau II).
c.
Pendekatan fossa infratemporal digunakan
ketika tumor telah meluas ke lateral.
d.
Pendekatan midfacial degloving, dengan
atau tanpa osteotomi LeFort, memperbaiki akses posterior terhadap tumor.
e.
Pendekatan translokasi wajah
dikombinasikan dengan insisi Weber-Ferguson dan perluasan koronal untuk
kraniotomi frontotemporal dengan midface osteotomies untuk jalan masuk.
f.
Pendekatan extended anterior subcranial
memudahkan pemotongan tumor sekaligus (en bloc), dekompresi saraf mata, dan
pembukaan sinus kavernosus.
g.
Intranasal endoscopic surgery
dipersiapkan untuk tumor yang terbatas pada rongga hidung dan sinus paranasal.
MANAJEMEN KEPARAWATAN
2.10
Pengkajian
Pengkajian keperawatan adalah
proses sistematis dari pengumpulan, verifikasi, dan komunikasi data tentang
klien. (Potter, Patricia A. 2005. Hal 144)
1. Faktor
herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek dengan riwayat
kanker payudara.
2. Lingkungan
yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu.
3. Kebiasaan
memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan makanan yang
terlalu panas serta makanan yang diawetkan (daging dan ikan).
4. Golongan
sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan lingkungan dan
kebiasaan hidup. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)
Pada pengkajian Angiofibroma
Nasofaring Juvenilis ditemukan tanda dan gejalanya yaitu :
1. Aktivitas
Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.
Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.
2. Sirkulasi
Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah, epistaksis/perdarahan hidaung.
Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah, epistaksis/perdarahan hidaung.
3. IntegritasEgo
Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah.
Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah.
4.
Eliminasi
Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan bising usus, distensi abdomen.
Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan bising usus, distensi abdomen.
5.
Makanan/cairan
Kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia, mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.
Kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia, mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.
6.
Neurosensori
Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus
Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus
7.
Nyeri/kenyamanan
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan
8.
Pernapasan
Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok)
Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok)
9.
Keamanan
Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama / berlebihan, demam, ruam kulit.
Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama / berlebihan, demam, ruam kulit.
10.
Interaksisosial
Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung
Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung
2.11
Diagnosa
Keperawatan
Diagnosa
keperawatan adalah pernyataan yang menguraikan respons actual atau potensial
klien terhadap masalah kesehatan yang perawat mempunyai izin dan berkompeten
untuk mengatasinya. (Potter, Patricia A. 2005. Hal 166)
Diagnosa
Keperawatannya adalah :
1.
Nyeri berhubungan dengan kompresi/destruksi
jaringan saraf
2.
Gangguan sensori persepsi berubungan
dengan gangguan status organ sekunder
3.
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan anoreksia, mual muntah sekunder
4.
Resiko infeksi berhubungan dengan
ketidakadekuatan pertahanan sekunder imunosupresi
5. Resiko terhadap perdarahan
berhubungan dengan gangguan sistem hematopoetik
2.12
Intervensi
·
Diagnosa
I : Nyeri berhubungan dengan
kompresi/destruksi jaringan saraf.
Tujuan :
rasa nyeri teratasi atau terkontrol
Kriteria hasil : mendemonstrasikan
penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri.
Intervensi Keperawatan :
1.
Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi, frekuensi,
durasi
2.
Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok
punggung) dan
aktivitas
hiburan.
3.
Dorong penggunaan ketrampilan manajemen nyeri (teknik
relaksasi, visualisasi, bimbingan imajinasi) musik, sentuhan terapeutik.
4.
Evaluasi penghilangan nyeri atau kontrol
5.
Kolaborasi : berikan analgesik sesuai indikasi
misalnya Morfin, metadon atau
campuran narkotik.
·
Diagnosa
2 : Gangguan sensori persepsi berubungan dengan gangguan status organ sekunder.
Tujuan : mampu beradaptasi terhadap
perubahan sensori pesepsi
Kriteria hasil : mengenal gangguan dan
berkompensasi terhadap perubahan
Intervensi Keperawatan :
1. Tentukan ketajaman penglihatan,
apakah satu atau dua mata terlibat.
2. Orientasikan pasien terhadap
lingkungan
3. Observasi tanda-tanda dan gejala
disorientasi
4. Perhatikan tentang suram atau
penglihatan kabur
5. Bicara dengan gerak mulut yang
jelas
6. Bicara pada sisi telinga yang
sehat
·
Diagnosa 3 :
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual
muntah sekunder
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria hasil :
1.
Melaporkan penurunan mual dan insidens muntah
2.
Mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat
3.
Menunjukkan turgor kulit normal dan membran mukosa
yang lembab
4.
Melaporkan tidak adanya penurunan berat badan tambahan
Intervensi
Keperawatan :
1.
Sesuaikan diet sebelum dan sesudah pemberian obat
sesuai dengan kesukaan dan toleransi pasien
2.
Berikan dorongan higiene oral yang sering
3.
Berikan antiemetik, sedatif dan kortikosteroid yang
diresepkan
4.
Pastikan hidrasi cairan yang adekuat sebelum, selama
dan setelah pemberian obat, kaji masukan dan haluaran.
5.
Pantau masukan makanan tiap hari
6.
Ukur TB, BB dan ketebalan kulit trisep (pengukuran
antropometri)
7.
Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori, kaya
nutrien dengan masukan cairan adekuat.
8.
Kontrol faktor lingkungan (bau dan panadangan yang tidak
sedap dan kebisingan)
·
Diagnosa 4 :
Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder imunosupresi.
Tujuan : tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil :
1.
Menunjukkan suhu normal dan tanda-tanda vital normal
2.
Tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi : edema
setempat, eritema, nyeri.
3.
Menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan nafas dalam
untuk menegah disfungsi dan infeksi respiratori
Intervensi Keperawatan :
1. Kaji
pasienterhadap bukti adanya infeksi
2. Periksa
tanda vital, pantau jumlah SDP, tempat masuknya patogen, demam, menggigil,
perubahan respiratori atau status mental, frekuensi berkemih atau rasa perih
saat berkemih
3. Tingkatkan
prosedur cuci tangan yang baik pada staf dan pengunjung, batasi pengunjung yang
mengalami infeksi.
4. Tekankan
higiene personal
5. Pantau suhu
6. Kaji semua
sistem (pernafasan, kulit, genitourinaria)
·
Diagnosa 5 :
Resiko terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan sistem hematopoetik
Tujuan : perdarahan dapat teratasi
Kriteria hasil
:
1.
Tanda dan gejala perdarahan teridentifikasi
2. Tidak
menunjukkan adanya epistaksis
Intervensi
Keperawatan
1.
Kaji terhadap potensial perdarahan : pantau jumlah
trombosit
2.
Kaji terhadap perdarahan : epsitaksis
3.
Instruksikan cara-cara meminimalkan perdarahan :
minimalkan penekanan/ gesekan pada hidung.
2.13
Implementasi
Implementasi merupakan komponen dari
proses keperawatan, adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan
yang digunakan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan
keperawatan dilakukan dan diselesaikan. (Potter, Patricia A. 2005. Hal 203)
2.14
Evaluasi
Evaluasi menentukan respons klien
terhadap tindakan keperawatan dan seberapa jauh tujuan perawatan telah
terpenuhi. (Potter, Patricia A. 2005. Hal 229)
Evaluasi
juga merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan, hasil yang diharapkan
merupakan standar penilaian bagi perawat untuk melihat apakah tujuan telah
terpenuhi, dengan pelayanan telah berhasil ((Potter, Patricia A. 2009. Hal 460)
1)
Diagnosa 1
Rasa nyeri pasien teratasi atau
terkontrol dengan kriteria hasil dapat mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan
relaksasi nyeri.
2)
Diagnosa 2
Pasien
mampu
beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi dengan kriteria
hasil dapat mengenal gangguan dan
berkompensasi terhadap perubahan.
3)
Diagnosa 3
Kebutuhan
nutrisi pasien terpenuhi dengan kriteria hasil adanya penurunan mual dan
insidens muntah, pasien mengkonsumsi makanan dan cairan yang
adekuat, pasien menunjukkan turgor kulit normal dan membran mukosa yang lembab
dan tidak
adanya penurunan berat badan tambahan.
4)
Diagnosa 4
Tidak
terjadi infeksi pada pasien dengan kriteria
hasil pasien
menunjukkan
suhu normal dan tanda-tanda vital normal, tidak
menunjukkan tanda-tanda inflamasi : edema setempat, eritema, nyeri dan
menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan nafas dalam untuk menegah disfungsi
dan infeksi respiratori.
5)
Diagnosa 5
Perdarahan
pada pasien dapat teratasi dengan kriteria hasil tanda dan
gejala perdarahan teridentifikasi dan tidak
menunjukkan adanya epistaksis.
DAFTAR PUSTAKA
- Potter, Patricia A. 2005. Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik Edisi 4. Jakarta : EGC
- Potter, Patricia A. 2005. Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik Vol 1.E/A. Jakarta : EGC
- Soepardi, Efiaty A., dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Jakarta: FKUI
- ________. “Angiofibroma Nasofaring Juvenile” diunduh dari http://kireihimee.blogspot.com/2009/10/angiofibroma-nasofaring-juvenile.html, tanggal 14 Mei 2012, pukul 09.00 WIB
- ________. “Angiofibroma Nasofaring Juvenile” diunduh dari http://www.alhamsyah.com/blog/doc/angiofibroma+nasofaring+juvenile.html, tanggal 14 Mei 2012, pukul 09.20 WIB
- ________. “Angiofibroma Nasofaring” diunduh dari http://jangan-sakit.blogspot.com/2009/07/angiofibroma-nasofaring.html, tanggal 14 Mei 2012, pukul 09.30 WIB
- ________. “Angiofibroma Nasofaring” diunduh dari http://www.klinikdokteronline.com/pdf/biopsi-angiofibroma-nasofaring.html, tanggal 14 Mei 2012, pukul 09.30 WIB
- Aminy, Uyunk. “Angiofibroma Nasofaring Juvenile” diunduh dari http://luv4all.wordpress.com/2011/03/27/angiofibroma-nasofaring-juvenile/, tanggal 14 Mei 2012, pukul 10.00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar