ASUHAN
KEPERAWATAN TRAUMA NASI-EPISTAXIS-HEMATOM DAN DEVIASI SEPTUM
I.
EPISTAKSIS
A.
Konsep
Dasar
a.
Pengertian
Epistaksis
atau perdarahan dari hidung banyak dijumpai sehari-hari baik pada anak maupun
usia lanjut. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manisfestasi penyakit
lain. Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan
bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat, walaupun jarang, merupakan masalah
kedaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani.
Hidung berdarah
(Kedokteran : epistaksis atau Inggris : epistaxis) atau mimisan adalah satu keadaan pendarahan dari hidung yang keluar
melalui lubang hidung.
Epistaksis
adalah satu keadaan pendarahan dari hidung yang keluar melalui lubang hidung
akibat sebab kelainan lokal pada rongga hidung ataupun karena kelainan yang
terjadi di tempat lain dari tubuh.
b.
Etiologi
Seringkali
epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya, kadang-kadang
jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal
pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan
anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh
udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan
darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan
kelainan kongenital.
a) Kelainan
Lokal
1. Trauma
Pendarahann
dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan rigan,
bersin ataumengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang
lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Selain itu
juga bisa terjadi akibat adanya benda
asing tajam atau trauma pembedahan.
Epistaksis
sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Pendarahan dapat
terjadi di tempat spinal itu terjadi sendiri atau pada mukosa komka yang
berhadapan bila komka itu sedang mengalami pembengkakan.
2. Kelainan
Pembuluh Darah
Sering
kongenital. Pembuluh darah lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan sel selnya
lebih sedikit.
3. Infeksi
Lokal
Epistaksis
bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis atau
sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rinitis jamur, tuberkolosis,
lupus, sipilis atau lepra.
4. Tumor
Epistaksis
dapat tiimbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih sering terjadi pada
angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis berat.
b) Kelainan
Sistemik
1. Penyakit
Kardiovaskuler
Hipertensi
dan kelainan pembuluh darah sperti yang terjadi pada arteriosklerosis, nefritis
kronik, sirosis hapatis atau diabetes meilitus dapat menyebabkan epistaksis.
Epistaksis yang sering terjadi pada penyakit hifertensi sering kali hebat dan
dapat berfakibat patal.
2. Kelainan
Darah
Kelainan
darah menyebabkan epistaksis antara lain leukemia, trombositopenia,
bermacam-macam anemia serta hemofilia.
3. Kelainan
Kongenital
Kelainan
kongenital yang sering menyebabkan episstakssis ialah teleangiektasis hemoragik
hheredikter ( hereditari hemorragic
telengiectasis Osler-Rendu-Weber disease). Juga sering terjadi pada
vondwoliienbrand disease.
4. Infeksi
Sistemik
Yang
sering menyebabkan epistaksis ialah demam berdarah (dengue hemoragic fever )
demam tipoid, imfluenza dan morbilli juga dapat disertai epistaksis.
5. Perubahan
Udara atau Tekanan Atmosfir
Epistaksis
sering terjadi bila seseorang berada ditempat
yangcuacnya sangat dingin atau kering. Hal serupa juga bisa
disebabkan adanya zat-zat kimia ditempat
industri yang menyababkan keringnya mukosa hidung.
6. Gangguan
Hormonal
Epistaksis
juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena pengaruh perubahan
hormonal.
c.
Patofisiologi
Hidung kaya
akan vaskularisasi yang berasal dari arteri karotis interna dan arteri karotis
eksterna. Arteri karotis eksterna menyuplai darah ke hidung melalui percabangannya
arteri fasialis dan arteri maksilaris. Arteri labialis superior merupakan salah
satu cabang terminal dari arteri fasialis. Arteri ini memberikan vaskularisasi
ke nasal arterior dan septum anterior sampai ke percabangan septum. Arteri
maksilaris interna masuk ke dalam fossa pterigomaksilaris dan memberikan enam
percabangan : a.alveolaris posterior superior, a.palatina desenden ,
a.infraorbitalis, a.sfenopalatina, pterygoid canal dan a. pharyngeal.
Arteri
palatina desenden turun melalui kanalis palatinus mayor dan menyuplai dinding
nasal lateral, kemudian kembali ke dalam hidung melalui percabangan di foramen
incisivus untuk menyuplai darah ke septum anterior.
Arteri
karotis interna memberikan vaskularisasi ke hidung. Arteri ini masuk ke dalam
tulang orbita melalui fisura orbitalis superior dan memberikan beberapa
percabangan. Arteri etmoidalis anterior meninggalkan orbita melalui foramen
etmoidalis anterior. Arteri etmoidalis posterior keluar dari rongga orbita,
masuk ke foramen etmoidalis posterior, pada lokasi 2-9 mm anterior dari kanalis
optikus. Kedua arteri ini menyilang os ethmoid dan memasuki fossa kranial
anterior, lalu turun ke cavum nasi melalui lamina cribriformis, masuk ke
percabangan lateral dan untuk menyuplai darah ke dinding nasal lateral dan
septum.
Pleksus
kiesselbach yang dikenal dengan “little area” berada diseptum kartilagenous
anterior dan merupakan lokasi yang paling sering terjadi epistaksis anterior.
Sebagian besar arteri yang memperdarahi septum beranastomosis di area ini.
Sebagian
besar epistaksis (95%) terjadi di “little area”. Bagian septum nasi anterior
inferior merupakan area yang berhubungan langsung dengan udara, hal ini
menyebabkan mudah terbentuknya krusta, fisura dan retak karena trauma pada
pembuluh darah tersebut.
Walaupun
hanya sebuah aktifitas normal dilakukan seperti menggosok-gosok hidung dengan
keras, tetapi hal ini dapat menyebabkan terjadinya trauma ringan pada pembuluh
darah sehingga terjadi ruptur dan perdarahan. Hal ini terutama terjadi pada
membran mukosa yang sudah terlebih dahulu mengalami inflamasi akibat dari
infeksi saluran pernafasan atas, alergi atau sinusitis.
d.
Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan
Laboratorium
Jika
perdarahan sedikit dan tidak berulang, tidak perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang. Jika perdarahan berulang atau hebat lakukan pemeriksaan lainnya
untuk memperkuat diagnosis epistaksis :
a. Pemeriksaan
darah tepi lengkap.
b. Fungsi
hemostatis.
c. EKG.
d. Tes fungsi
hati dan ginjal.
e. Pemeriksaan
foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring.
f. CT scan dan
MRI dapat diindikasikan untuk menentukan adanya rinosinusitis, benda asing dan
neoplasma.
e.
Komplikasi
Komplikasi
dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat
dari usaha penanggulangan epistaksis.
Akibat
perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah kedalam saluran napas bawah,
juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah
secara mendadak menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi
koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian.
Akibat
pembuluh darah yang terluka dapat terjadi infeksi sehingga perlu diberikan
antibiotik.
f.
Penatalaksanaan
Prinsip
penatalaksanaan epistaksis ialah perbaikan keadaan umum, cari sumber
perdarahan, hentikan perdarahan, carei paktor penyebab untuk mencegah
berulangnya perdarahan. Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan
keadaan umumnya, nadi, pernapasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan,
atasi terlebih dahulu misalnya dengan memasang infus. Jalan napas dapat
tersumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau diisap.
Untuk
dapat menghentikan perdarahan perlu dicari sumbernya, setidaknya dilihat apakah
perdarahan dari anterior atau posterior.
Alat-alat
yang diperlukan untuk pemeriksaan ialah lampu kepala, spekulum hidung dan alat
pengisap. Ananmnesia yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab
perdarahan. Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarakan
darah mengalir keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaannya
lemah sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus
diperhatikan jangan sampai darah mengalir ke seluruh napas bawah.
Pasien
anak duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan
tidak bergerak-gerak. Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari
darah dan bekuan darah dengan bantuan alat pengisap. Kemudian pasang tampon
sementara yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000-1/10.000 dan
pantocain atau lidocain 2% dimasukan kedalam rongga hidung untuk menghentikan
perdarahan mengurangi rasa nyeri pada saat dibiarkan selama 10-15 menit.
Setelah terjadi pasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal
dari bagian anterior atau posterior hidung.
B.
Manajemen
Keperawatan
a.
Pengkajian
1. Biodata
Biodata
pasien meliputi Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan.
2. Riwayat
Penyakit Sekarang
3. Keluhan
Utama
Biasanya
penderita mengeluh sulit bernafas, tenggorokan.
4. Riwayat
penyakit dahulu
- Pasien
pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau trauma.
- Pernah
mempunyai riwayat penyakit THT.
- Pernah
menedrita sakit gigi geraham.
5. Riwayat
keluarga
Adakah
penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang lalu yang mungkin ada
hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
6.
Riwayat spikososial
- Intrapersonal
: perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih).
- Interpersonal
: hubungan dengan orang lain.
7.
Pola fungsi kesehatan
a.
Pola persepsi dan tata laksana hidup
sehat
Untuk
mengurangi flu biasanya klien mengkonsumsi obat tanpa memperhatikan efek
samping.
b.
Pola nutrisi dan metabolisme
Biasanya nafsu
makan klien berkurang karena terjadi gangguan pada hidung.
c.
Pola istirahat dan tidur
Selama inditasi
klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering pilek.
d.
Pola Persepsi dan konsep diri
Klien sering
pilek terus menerus dan berbau menyebabkan konsep diri menurun.
e.
Pola sensorik
Daya penciuman
klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek terus menerus (baik purulen ,
serous, mukopurulen).
b.
Diagnosa Keperawatan
1.
Bersihan jalan nafas
tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret.
2.
Cemas
berhubungan dengan kondisi sakit, prognosis penyakit yang berat.
c.
Intervensi
Diagnosis
1. Bersihan
jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret.
Tujuan
: Bersihan jalan nafas menjadi efektif.
Kriteria
Hasil : Frekuensi nafas normal, tidak ada suara
nafas tambahan, tidak menggunakan otot pernafasan tambahan, tidak terjadi
dispnoe dan sianosis.
Intervensi
:
1) Kaji
bunyi atau kedalaman pernapasan dan gerakan dada.
R/: Penurunan bunyi
nafas dapat menyebabkan atelektasis, ronchi dan wheezing menunjukkan akumulasi
sekret.
2) Berikan
posisi fowler atau semi fowler tinggi.
R/: Posisi membantu
memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya pernafasan.
3) Bersihkan
sekret dari mulut dan trakea.
R/: Mencegah
obstruksi/aspirasi.
4) Pertahankan
masuknya cairan sedikitnya sebanyak 250 ml/hari kecuali kontraindikasi.
R/: Membantu
pengenceran sekret.
2. Cemas berhubungan dengan kondisi sakit, prognosis
penyakit yang berat.
Tujuan : Cemas klien
berkurang/hilang.
Kriteria Hasil :
- Klien
akan menggambarkan tingkat kecemasan dan pola kopingnya.
- Klien
mengetahui dan mengerti tentang penyakit yang dideritanya serta pengobatannya.
Intervensi :
1)
Berikan kenyamanan dan ketentraman
pada klien :
-
Temani klien.
-
Perlihatkan rasa empati ( datang
dengan menyentuh klien ).
R/: Memudahkan
penerimaan klien terhadap informasi yang diberikan.
2) Berikan
penjelasan pada klien tentang penyakit yang dideritanya perlahan, tenang seta
gunakan kalimat yang jelas, singkat mudah dimengerti.
R/: Meningkatkan
pemahaman klien tentang penyakit dan terapi untuk penyakit tersebut sehingga
klien lebih kooperatif.
3) Observasi
tanda-tanda vital.
R/: Mengetahui perkembangan
klien secara dini.
d.
Evaluasi
Dilakukan dengan mengaju pada tujuan dari kriteria yang telah ditetapkan
dalam perencanaan.
II.
DEVIASI
SEPTUM
A.
Konsep
Dasar
a.
Pengertian
Deviasi
septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari septum nasi dari
letaknya yang berada di garis medial tubuh.
b.
Etiologi
Penyebab
deviasi septum nasi antara lain trauma langsung, Birth Moulding Theory (posisi
yang abnormal ketika dalam rahim), kelainan kongenital, trauma sesudah lahir,
trauma waktu lahir, dan perbedaan pertumbuhan antara septum dan palatum.
Faktor
resiko deviasi septum lebih besar ketika persalinan. Setelah lahir, resiko
terbesar ialah dari olahraga, misalnya olahraga kontak langsung (tinju, karate,
judo) dan tidak menggunakan helm atau sabuk pengaman ketika berkendara.
c.
Pemeriksaan Diagnosis
Deviasi
septum biasanya sudah dapat dilihat melalui inspeksi langsung pada batang
hidungnya. Namun, diperlukan juga pemeriksaan radiologi untuk memastikan
diagnosisnya. Dari pemeriksaan rinoskopi anterior, dapat dilihat penonjolan
septum ke arah deviasi jika terdapat deviasi berat, tapi pada deviasi ringan,
hasil pemeriksaan bisa normal.
Deviasi
septum yang ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup
berat, menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian, dapat
mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi.
Gejala
yang sering timbul biasanya adalah sumbatan hidung yang unilateral atau juga
bilateral. Keluhan lain ialah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain
itu, penciuman juga bisa terganggu apabila terdapat deviasi pada bagian atas
septum.
d.
Komplikasi
Deviasi
septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor predisposisi
terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi septum juga menyebabkan ruang hidung sempit,
yang dapat membentuk polip.
e.
Penatalaksanaan
Analgesik
Digunakan
untuk mengurangi rasa sakit.
Dekongestan
Digunakan
untuk mengurangi sekresi cairan hidung.
Pembedahan
a. Septoplasti.
b. SMR
(Sub-Mucous Resection).
B.
Manajemen
Keperawatan
a.
Pengkajian
1.
Keluhan
utrama
Tidak dapat bernapas melalui hidung, ada sesuatu
yang menganjal.
2.
Riwayat
penyakit sekarang
Adanya keluhan tidak dapat bernapas melalui hidung,
hidung terasa nyeri, tidak dapat makan karena takut tersedak.
3.
Riwayat
penyakit dahulu
Pilek terus menerus, biasanya lebih dari satu
tahundan tidak ada perubahan meskipun diberi obat.
b.
Diagnosa
Keperawatan
1.
Perubahan
pola napas berhubungan dengan tampon pada hidung.
2.
Resiko
tinggi gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan intake yang
kurang.
c.
Intervensi
1.
Perubahan
pola napas berhubungan dengan tampon pada hidung.
Tujuan : perubahan pola napas taratasi dsalam waktu 2 x 24
jam.
Kriteria Hasil : klien dapat bernapas melalui hidung.
Intervensi :
1)
Jelaskan
tentang perubahan pola napas dan bernapas melalui mulut. R/: Klien mengerti
sebab akibat perubahan pola napas.
2)
Anjurkan
klien untuk tidur setengah duduk (semi
fowler) dan napas melalui mulut.
R/:
Membuat paru mengembang dengan baik.
2.
Resiko
tinggi gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan intake yang
kurang.
Tujuan : Pemenuhan nutrisi teratasi dalam waktu 2 x 24 jam.
Kriteria
Hasil :
-
Klien
mau menghabiskan makanannya.
-
Berat
badan dalam batas normal.
Intervensi
:
1)
Jelaskan
pada klien untuk boleh dan tetap makan secara hati-hatai dan
sedikit-sedikit.
R/: Klien tetap mau makan tanpa takut tersedak.
2)
Kontrol
berat badan setiap dua hari.
R/:
Perkembangan asupan makanan yang adekuat.
3)
Monitor
makan tiap hari.
R/:
Mengetahui seberapa banyak makanan yang masuk.
d.
Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan mengacu pada
tujuan dan kriteria yang telah ditetapkan dalam perencanaan.
DAFTAR PUSTAKA
- Soepardi Arsyad Efiaty. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar