Rabu, 13 Juni 2012

ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA NASI-EPISTAXIS-HEMATOM DAN DEVIASI SEPTUM


ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA NASI-EPISTAXIS-HEMATOM DAN DEVIASI SEPTUM
 

I.         EPISTAKSIS
A.       Konsep Dasar
a.         Pengertian
Epistaksis atau perdarahan dari hidung banyak dijumpai sehari-hari baik pada anak maupun usia lanjut. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manisfestasi penyakit lain. Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat, walaupun jarang, merupakan masalah kedaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani.
Hidung berdarah (Kedokteran : epistaksis atau Inggris : epistaxis) atau mimisan adalah satu keadaan pendarahan dari hidung yang keluar melalui lubang hidung.
Epistaksis adalah satu keadaan pendarahan dari hidung yang keluar melalui lubang hidung akibat sebab kelainan lokal pada rongga hidung ataupun karena kelainan yang terjadi di tempat lain dari tubuh.
b.        Etiologi
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya, kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.
a)      Kelainan Lokal
1.      Trauma
Pendarahann dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan rigan, bersin ataumengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Selain itu juga bisa terjadi akibat adanya benda  asing tajam atau trauma pembedahan.
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Pendarahan dapat terjadi di tempat spinal itu terjadi sendiri atau pada mukosa komka yang berhadapan bila komka itu sedang mengalami pembengkakan.
2.      Kelainan Pembuluh Darah
Sering kongenital. Pembuluh darah lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan sel selnya lebih sedikit.
3.      Infeksi Lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis atau sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rinitis jamur, tuberkolosis, lupus, sipilis atau lepra.
4.      Tumor
Epistaksis dapat tiimbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih sering terjadi pada angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis berat.
b)      Kelainan Sistemik
1.      Penyakit Kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah sperti yang terjadi pada arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis hapatis atau diabetes meilitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis yang sering terjadi pada penyakit hifertensi sering kali hebat dan dapat berfakibat patal.
2.      Kelainan Darah
Kelainan darah menyebabkan epistaksis antara lain leukemia, trombositopenia, bermacam-macam anemia serta hemofilia.


3.      Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan episstakssis ialah teleangiektasis hemoragik hheredikter ( hereditari hemorragic  telengiectasis Osler-Rendu-Weber disease). Juga sering terjadi pada vondwoliienbrand disease.
4.      Infeksi Sistemik
Yang sering menyebabkan epistaksis ialah demam berdarah (dengue hemoragic fever ) demam tipoid, imfluenza dan morbilli juga dapat disertai epistaksis.
5.      Perubahan Udara atau Tekanan Atmosfir
Epistaksis sering terjadi bila seseorang berada ditempat  yangcuacnya sangat dingin atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan  adanya zat-zat kimia ditempat industri yang menyababkan keringnya mukosa hidung.
6.      Gangguan Hormonal
Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena pengaruh perubahan hormonal.
c.         Patofisiologi
Hidung kaya akan vaskularisasi yang berasal dari arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna. Arteri karotis eksterna menyuplai darah ke hidung melalui percabangannya arteri fasialis dan arteri maksilaris. Arteri labialis superior merupakan salah satu cabang terminal dari arteri fasialis. Arteri ini memberikan vaskularisasi ke nasal arterior dan septum anterior sampai ke percabangan septum. Arteri maksilaris interna masuk ke dalam fossa pterigomaksilaris dan memberikan enam percabangan : a.alveolaris posterior superior, a.palatina desenden , a.infraorbitalis, a.sfenopalatina, pterygoid canal dan a. pharyngeal.
Arteri palatina desenden turun melalui kanalis palatinus mayor dan menyuplai dinding nasal lateral, kemudian kembali ke dalam hidung melalui percabangan di foramen incisivus untuk menyuplai darah ke septum anterior.
Arteri karotis interna memberikan vaskularisasi ke hidung. Arteri ini masuk ke dalam tulang orbita melalui fisura orbitalis superior dan memberikan beberapa percabangan. Arteri etmoidalis anterior meninggalkan orbita melalui foramen etmoidalis anterior. Arteri etmoidalis posterior keluar dari rongga orbita, masuk ke foramen etmoidalis posterior, pada lokasi 2-9 mm anterior dari kanalis optikus. Kedua arteri ini menyilang os ethmoid dan memasuki fossa kranial anterior, lalu turun ke cavum nasi melalui lamina cribriformis, masuk ke percabangan lateral dan untuk menyuplai darah ke dinding nasal lateral dan septum.
Pleksus kiesselbach yang dikenal dengan “little area” berada diseptum kartilagenous anterior dan merupakan lokasi yang paling sering terjadi epistaksis anterior. Sebagian besar arteri yang memperdarahi septum beranastomosis di area ini.
Sebagian besar epistaksis (95%) terjadi di “little area”. Bagian septum nasi anterior inferior merupakan area yang berhubungan langsung dengan udara, hal ini menyebabkan mudah terbentuknya krusta, fisura dan retak karena trauma pada pembuluh darah tersebut.
Walaupun hanya sebuah aktifitas normal dilakukan seperti menggosok-gosok hidung dengan keras, tetapi hal ini dapat menyebabkan terjadinya trauma ringan pada pembuluh darah sehingga terjadi ruptur dan perdarahan. Hal ini terutama terjadi pada membran mukosa yang sudah terlebih dahulu mengalami inflamasi akibat dari infeksi saluran pernafasan atas, alergi atau sinusitis.
d.        Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Laboratorium
Jika perdarahan sedikit dan tidak berulang, tidak perlu dilakukan pemeriksaan penunjang. Jika perdarahan berulang atau hebat lakukan pemeriksaan lainnya untuk memperkuat diagnosis epistaksis :
a.    Pemeriksaan darah tepi lengkap.
b.    Fungsi hemostatis.
c.    EKG.
d.   Tes fungsi hati dan ginjal.
e.    Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring.
f.     CT scan dan MRI dapat diindikasikan untuk menentukan adanya rinosinusitis, benda asing dan neoplasma.
e.         Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis.
Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah kedalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian.
Akibat pembuluh darah yang terluka dapat terjadi infeksi sehingga perlu diberikan antibiotik.
f.         Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah perbaikan keadaan umum, cari sumber perdarahan, hentikan perdarahan, carei paktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan. Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernapasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu misalnya dengan memasang infus. Jalan napas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau diisap.
Untuk dapat menghentikan perdarahan perlu dicari sumbernya, setidaknya dilihat apakah perdarahan dari anterior atau posterior.
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan ialah lampu kepala, spekulum hidung dan alat pengisap. Ananmnesia yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab perdarahan. Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarakan darah mengalir keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaannya lemah sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus diperhatikan jangan sampai darah mengalir ke seluruh napas bawah. 
Pasien anak duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan tidak bergerak-gerak. Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan bekuan darah dengan bantuan alat pengisap. Kemudian pasang tampon sementara yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000-1/10.000 dan pantocain atau lidocain 2% dimasukan kedalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan mengurangi rasa nyeri pada saat dibiarkan selama 10-15 menit. Setelah terjadi pasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior hidung. 

B.       Manajemen Keperawatan
a.         Pengkajian
1.    Biodata
Biodata pasien meliputi Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan.
2.    Riwayat Penyakit Sekarang
3.    Keluhan Utama
Biasanya penderita mengeluh sulit bernafas, tenggorokan.
4.    Riwayat penyakit dahulu
-  Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau trauma.
-  Pernah mempunyai riwayat penyakit THT.
-  Pernah menedrita sakit gigi geraham.
5.    Riwayat keluarga
Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang lalu yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
6.    Riwayat spikososial
-  Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih).
-  Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
7.    Pola fungsi kesehatan 
a.    Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Untuk mengurangi flu biasanya klien mengkonsumsi obat tanpa memperhatikan efek samping.
b.    Pola nutrisi dan metabolisme
Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan pada hidung.
c.    Pola istirahat dan tidur
Selama inditasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering pilek.
d.   Pola Persepsi dan konsep diri
Klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan konsep diri menurun.
e.    Pola sensorik
Daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek terus menerus (baik purulen , serous, mukopurulen).
b.        Diagnosa Keperawatan
1.             Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret.
2.             Cemas berhubungan dengan kondisi sakit, prognosis penyakit yang berat.
c.         Intervensi
Diagnosis
1.    Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret.
Tujuan : Bersihan jalan nafas menjadi efektif.
Kriteria Hasil : Frekuensi nafas normal, tidak ada suara nafas tambahan, tidak menggunakan otot pernafasan tambahan, tidak terjadi dispnoe dan sianosis. 
Intervensi :
1)   Kaji bunyi atau kedalaman pernapasan dan gerakan dada.
R/: Penurunan bunyi nafas dapat menyebabkan atelektasis, ronchi dan wheezing menunjukkan akumulasi sekret.
2)   Berikan posisi fowler atau semi fowler tinggi.
R/: Posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya pernafasan.
3)   Bersihkan sekret dari mulut dan trakea.
R/: Mencegah obstruksi/aspirasi.
4)   Pertahankan masuknya cairan sedikitnya sebanyak 250 ml/hari kecuali kontraindikasi.
R/: Membantu pengenceran sekret.
2.    Cemas berhubungan dengan kondisi sakit, prognosis penyakit yang berat.
Tujuan : Cemas klien berkurang/hilang.
Kriteria Hasil :
-       Klien akan menggambarkan tingkat kecemasan dan pola kopingnya.
-       Klien mengetahui dan mengerti tentang penyakit yang dideritanya serta pengobatannya.
Intervensi :
1)    Berikan kenyamanan dan ketentraman pada klien :
-       Temani klien.
-       Perlihatkan rasa empati ( datang dengan menyentuh klien ).
R/: Memudahkan penerimaan klien terhadap informasi yang diberikan.
2)    Berikan penjelasan pada klien tentang penyakit yang dideritanya perlahan, tenang seta gunakan kalimat yang jelas, singkat mudah dimengerti.
R/: Meningkatkan pemahaman klien tentang penyakit dan terapi untuk penyakit tersebut sehingga klien lebih kooperatif.
3)    Observasi tanda-tanda vital.
R/: Mengetahui perkembangan klien secara dini.

d.        Evaluasi
Dilakukan dengan mengaju pada tujuan dari kriteria yang telah ditetapkan dalam perencanaan.


II.      DEVIASI SEPTUM
A.       Konsep Dasar
a.         Pengertian
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh.
b.        Etiologi
Penyebab deviasi septum nasi antara lain trauma langsung, Birth Moulding Theory (posisi yang abnormal ketika dalam rahim), kelainan kongenital, trauma sesudah lahir, trauma waktu lahir, dan perbedaan pertumbuhan antara septum dan palatum.
Faktor resiko deviasi septum lebih besar ketika persalinan. Setelah lahir, resiko terbesar ialah dari olahraga, misalnya olahraga kontak langsung (tinju, karate, judo) dan tidak menggunakan helm atau sabuk pengaman ketika berkendara.
c.         Pemeriksaan Diagnosis
Deviasi septum biasanya sudah dapat dilihat melalui inspeksi langsung pada batang hidungnya. Namun, diperlukan juga pemeriksaan radiologi untuk memastikan diagnosisnya. Dari pemeriksaan rinoskopi anterior, dapat dilihat penonjolan septum ke arah deviasi jika terdapat deviasi berat, tapi pada deviasi ringan, hasil pemeriksaan bisa normal.
Deviasi septum yang ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat, menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian, dapat mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi.
Gejala yang sering timbul biasanya adalah sumbatan hidung yang unilateral atau juga bilateral. Keluhan lain ialah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain itu, penciuman juga bisa terganggu apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum.
d.        Komplikasi
Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi septum juga menyebabkan ruang hidung sempit, yang dapat membentuk polip.
e.         Penatalaksanaan
Analgesik
Digunakan untuk mengurangi rasa sakit.
Dekongestan
Digunakan untuk mengurangi sekresi cairan hidung.
Pembedahan
a.    Septoplasti.
b.    SMR (Sub-Mucous Resection).

B.       Manajemen Keperawatan
a.         Pengkajian
1.    Keluhan utrama
Tidak dapat bernapas melalui hidung, ada sesuatu yang menganjal.
2.    Riwayat penyakit sekarang
Adanya keluhan tidak dapat bernapas melalui hidung, hidung terasa nyeri, tidak dapat makan karena takut tersedak.
3.    Riwayat penyakit dahulu
Pilek terus menerus, biasanya lebih dari satu tahundan tidak ada perubahan meskipun diberi obat.
b.        Diagnosa Keperawatan
1.    Perubahan pola napas  berhubungan dengan  tampon pada hidung.
2.    Resiko tinggi gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan intake yang kurang.
c.         Intervensi
1.    Perubahan pola napas  berhubungan dengan  tampon pada hidung.
Tujuan : perubahan pola napas taratasi dsalam waktu 2 x 24 jam.
Kriteria Hasil : klien dapat bernapas melalui hidung.
Intervensi :
1)   Jelaskan tentang perubahan pola napas dan bernapas melalui mulut. R/: Klien mengerti sebab akibat perubahan pola napas.
2)   Anjurkan klien untuk  tidur setengah duduk (semi fowler) dan napas melalui mulut. 
R/: Membuat paru mengembang dengan baik.
2.    Resiko tinggi gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan intake yang kurang.
Tujuan : Pemenuhan nutrisi teratasi dalam waktu 2 x 24 jam.
Kriteria  Hasil :
-       Klien mau menghabiskan makanannya.
-       Berat badan dalam batas normal. 
Intervensi : 
1)   Jelaskan pada klien untuk boleh dan tetap makan secara hati-hatai dan sedikit-sedikit. 
R/:  Klien tetap mau makan tanpa takut tersedak.
2)   Kontrol berat badan setiap dua hari.
R/: Perkembangan asupan makanan yang adekuat.
3)   Monitor makan tiap hari.
R/: Mengetahui seberapa banyak makanan yang masuk.
d.        Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan mengacu pada tujuan dan kriteria yang telah ditetapkan dalam perencanaan.

DAFTAR PUSTAKA

  • Soepardi Arsyad Efiaty. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher.  Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar